Banyak orang mengaku mengenal Allåh, tapi mereka tidak cinta kepada Allåh. Buktinya, mereka banyak melanggar perintah dan larangan Allåh. Sebabnya, ternyata mereka tidak mengenal Allåh dengan sebenarnya.
Sekilas, membahas persoalan bagaimana mengenal Allåh bukan sesuatu yang asing. Bahkan mungkin ada yang mengatakan untuk apa hal yang demikian itu dibahas? Bukankah kita semua telah mengetahui dan mengenal pencipta kita? Bukankah kita telah mengakui itu semua?
Kalau mengenal Allåh sebatas di masjid, di majelis dzikir, atau di majelis ilmu atau mengenal-Nya ketika tersandung batu, ketika mendengar kematian, atau ketika mendapatkan musibah dan mendapatkan kesenangan, barangkali akan terlontar pertanyaan demikian.
Yang dimaksud dalam pembahasan ini yaitu mengenal Allåh yang akan membuahkan rasa takut kepada-Nya, tawakal, berharap, menggantungkan diri, dan ketundukan hanya kepada-Nya, sehingga kita bisa mewujudkan segala bentuk ketaatan dan menjauhi segala apa yang dilarang oleh-Nya. Yang akan menenteramkan hati ketika orang-orang mengalami gundah-gulana dalam hidup, mendapatkan rasa aman ketika orang-orang dirundung rasa takut dan akan berani menghadapi segala macam problema hidup.
Faktanya, berapa banyak yang mengaku mengenal Allåh tetapi mereka selalu bermaksiat kepada-Nya siang dan malam?! Lalu apa manfaat kita mengenal Allåh kalau keadaannya demikian? Dan apa artinya kita mengenal Allåh sementara kita melanggar perintah dan larangan-Nya
Mengenal Rububiyah Allåh
Rububiyah Allåh adalah mengesakan Allåh dalam tiga perkara yaitu penciptaan-Nya, kekuasaan-Nya, dan pengaturan-Nya. (Lihat Syarah Aqidah Al Wasithiyyah Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin hal 14)
Maknanya, menyakini bahwa Allåh adalah Dzat yang menciptakan, menghidupkan, mematikan, memberi rizki, mendatangkan segala mamfaat dan menolak segala mudharat. Dzat yang mengawasi, mengatur, penguasa, pemilik hukum dan selainnya dari segala sesuatu yang menunjukkan kekuasaan tunggal bagi Allåh.
Dari sini, seorang mukmin harus meyakini bahwa tidak ada seorangpun yang menandingi Allåh dalam hal ini. Allåh mengatakan: “’Katakanlah!’ Dialah Allåh yang Maha Esa. Allåh adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya sgala sesuatu. Dia tidak beranak dan tidak diperanakkan. Dan tidak ada seorangpun yang setara dengan-Nya.” (QS. Al Ikhlash: 1-4)
Maka ketika seseorang meyakini bahwa selain Allåh ada yang memiliki kemampuan untuk melakukan seperti di atas, berarti orang tersebut telah mendzalimi dirinya, karena telah menyekutukan-Nya dengan selain-Nya (yang menyebabkan dirinya binasa, dosanya tidak terampunkan (jika ia mati dalam keadaan tidak bertaubat), dan ia berada kekal didalam neraka, selama-lamanya, wal iyya ‘udzubillah)
Dalam masalah rububiyah Allåh sebagian orang kafir jahiliyah tidak mengingkarinya sedikitpun dan mereka meyakini bahwa yang mampu melakukan demikian hanyalah Allåh semata. Mereka tidak menyakini bahwa apa yang selama ini mereka sembah dan agungkan mampu melakukan hal yang demikian itu.
Lalu apa tujuan mereka menyembah Tuhan yang banyak itu? Apakah mereka tidak mengetahui jikalau ‘tuhan-tuhan’ mereka itu tidak bisa berbuat apa-apa? Dan apa yang mereka inginkan dari sesembahan itu?
Pertama, Allåh telah menceritakan di dalam Al Qur’an bahwa mereka memiliki dua tujuan. Pertama, mendekatkan diri mereka kepada Allåh dengan sedekat-dekatnya sebagaimana firman Allåh, yang artinya:
“Dan orang-orang yang menjadikan selain Allåh sebagai penolong (mereka mengatakan): ‘Kami tidak menyembah mereka melainkan agar mereka mendekatkan kami di sisi Allåh dengan sedekat-dekatnya’.” (Az Zumar: 3 )
Kedua, agar mereka (sesembahan yang disembah musyrikin tersebut) memberikan syafa’at (pembelaan ) di sisi Allåh.
Allåh berfirman, yang artinya:
“Dan mereka menyembah selain Allåh dari apa-apa yang tidak bisa memberikan mudharat dan manfaat bagi mereka dan mereka berkata: ‘Mereka (sesembahan itu) adalah yang memberi syafa’at kami di sisi Allåh’.” (QS. Yunus: 18, Lihat kitab Kasyfusy Syubuhat karya Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab)
Keyakinan sebagian orang kafir terhadap tauhid rububiyah Allåh telah dijelaskan Allåh dalam beberapa firman-Nya, yang artinya:
“Kalau kamu bertanya kepada mereka siapakah yang menciptakan mereka? Mereka akan menjawab Allåh.” (QS. Az Zukhruf: 87)
“Dan kalau kamu bertanya kepada mereka siapakah yang menciptakan langit dan bumi dan yang menundukkan matahari dan bulan? Mereka akan mengatakan Allåh.” (QS. Al Ankabut: 61)
“Dan kalau kamu bertanya kepada mereka siapakah yang menurunkan air dari langit lalu menghidupkan bumi setelah matinya? Mereka akan menjawab Allåh.” (QS. Al Ankabut: 63)
Demikianlah Allåh menjelaskan tentang keyakinan mereka terhadap tauhid Rububiyah Allåh. Keyakinan mereka yang demikian itu tidak menyebabkan mereka masuk ke dalam Islam dan menyebabkan halalnya darah dan harta mereka sehingga Råsulullåh mengumumkan peperangan melawan mereka.
Makanya, jika kita melihat kenyataan yang terjadi di tengah-tengah kaum muslimin, kita sadari betapa besar kerusakan akidah yang melanda saudara-saudara kita. Banyak yang masih menyakini bahwa selain Allåh, ada yang mampu menolak mudharat dan mendatangkan mamfa’at, meluluskan dalam ujian, memberikan keberhasilan dalam usaha, dan menyembuhkan penyakit. Sehingga, mereka harus berbondong-bondong meminta-minta di kuburan orang-orang shalih, atau kuburan para wali, atau di tempat-tempat keramat.
Mereka harus pula mendatangi para dukun, tukang ramal, dan tukang tenung atau dengan istilah sekarang paranormal. Semua perbuatan dan keyakinan ini, merupakan keyakinan yang rusak dan bentuk kesyirikan kepada Allåh.
Ringkasnya, tidak ada yang bisa memberi rizki, menyembuhkan segala macam penyakit, menolak segala macam marabahaya, memberikan segala macam manfaat, membahagiakan, menyengsarakan, menjadikan seseorang miskin dan kaya, yang menghidupkan, yang mematikan, yang meluluskan seseorang dari segala macam ujian, yang menaikkan dan menurunkan pangkat dan jabatan seseorang, kecuali Allåh. Semuanya ini menuntut kita agar hanya meminta kepada Allåh semata dan tidak kepada selain-Nya.
Mengenal Uluhiyah Allåh
Uluhiyah Allåh adalah mengesakan segala bentuk peribadatan bagi Allåh, seperti berdo’a, meminta, tawakal, takut, berharap, menyembelih, bernadzar, cinta, dan selainnya dari jenis-jenis ibadah yang telah diajarkan Allåh dan Råsulullåh ShallAllåhu ‘Alaihi Wasallam.
Memperuntukkan satu jenis ibadah kepada selain Allåh termasuk perbuatan dzalim yang besar di sisi-Nya yang sering diistilahkan dengan syirik kepada Allåh.
Allåh berfirman di dalam Al Qur’an, yang artinya:
“Hanya kepada-Mu ya Allåh kami menyembah dan hanya kepada-Mu ya Allåh kami meminta.” (QS. Al Fatihah: 5)
Råsulullåh Shallallåhu ‘Alaihi Wasallam telah membimbing Ibnu Abbas radhiAllåhu ‘anhu dengan sabda beliau, yang artinya: “Dan apabila kamu minta maka mintalah kepada Allåh dan apabila kamu minta tolong maka minta tolonglah kepada Allåh.” (HR. Tirmidzi)
Allåh berfirman, yang artinya:
“Dan sembahlah Allåh dan jangan kalian menyekutukan-Nya dengan sesuatu apapun” (QS. An Nisa: 36)
Allåh berfirman, yang artinya:
“Hai sekalian manusia sembahlah Råbb kalian yang telah menciptakan kalian dan orang-orang sebelum kalian, agar kalian menjadi orang-orang yang bertaqwa.” (QS. Al Baqarah: 21)
Dengan ayat-ayat dan hadits di atas, Allåh dan Rasul-Nya telah jelas mengingatkan tentang tidak bolehnya seseorang untuk memberikan peribadatan sedikitpun kepada selain Allåh karena semuanya itu hanyalah milik Allåh semata.
Råsulullåh Shallallåhu ‘Alaihi Wasallam bersabda, yang artinya:
“Allåh berfirman kepada ahli neraka yang paling ringan adzabnya, (yang artinya) ‘Kalau seandainya kamu memiliki dunia dan apa yang ada di dalamnya dan sepertinya lagi, apakah kamu akan menebus dirimu? Dia menjawab ‘ya’. Allåh berfirman (yang artinya): ‘Sungguh Aku telah menginginkan darimu lebih rendah dari ini dan ketika kamu berada di tulang rusuknya Adam tetapi kamu enggan kecuali terus menyekutukan-Ku.” ( HR. Muslim dari Anas bin Malik RadhiAllåhu ‘Anhu )
Råsulullåh Shallallåhu ‘Alaihi Wasallam bersabda: “Allåh berfirman dalam hadits qudsi (yang artinya): “Aku tidak butuh kepada sekutu-sekutu, maka barang siapa yang melakukan satu amalan dan dia menyekutukan Aku dengan selain-Ku maka Aku akan membiarkannya dan sekutunya.” (HR. Muslim dari Abu Hurairah RadhiAllåhu ‘Anhu )
Contoh konkrit penyimpangan uluhiyah Allåh di antaranya ketika seseorang mengalami musibah di mana ia berharap bisa terlepas dari musibah tersebut. Lalu orang tersebut datang ke makam seorang wali, atau kepada seorang dukun, atau ke tempat keramat atau ke tempat lainnya. Ia meminta di tempat itu agar penghuni tempat tersebut atau sang dukun, bisa melepaskannya dari musibah yang menimpanya. Ia begitu berharap dan takut jika tidak terpenuhi keinginannya. Ia pun mempersembahkan sesembelihan bahkan bernadzar, berjanji akan beri’tikaf di tempat tersebut jika terlepas dari musibah seperti keluar dari lilitan hutang.
Ibnul Qoyyim mengatakan: “Kesyirikan adalah penghancur tauhid rububiyah dan pelecehan terhadap tauhid uluhiyyah, dan berburuk sangka terhadap Allåh.”
Ketika Nabi shollallahu ’alaih wa sallam dan para sahabat berda’wah di Mekkah sebelum hijrah ke Madinah, mereka memfokuskan da’wah Islam kepada urusan membangun fondasi kokoh berupa aqidah yang bersumber dari kalimat La ilaha ill-Allah.
Mereka tidak bergesar dari tema fundamental ini karena mereka menyadari bahwa untuk mengubah masyarakat jahiliyyah tidak mungkin dilakukan kecuali dengan membongkar dari fondasinya yang mendasari seluruh kehidupannya kepada jalan mana yang ia tempuh, dalam semua lini kehidupan. Sehingga percuma saja dilakukan upaya perbaikan bila dilakukan dengan semangat dan metode tambal-sulam. Diperlukan suatu langkah perombakan mendasar sebelum dilakukan upaya perbaikan pada dimensi kehidupan yang luas.
Oleh karena itu Nabi shollallahu ’alaih wa sallam dengan tekun dan sabar menyerukan da’wah yang menitikberatkan pada pelurusan kepercayaan, ideologi dan konsepsi. Sebagaimana para Nabi dan Rasul lainnya beliau menyerukan pesan universal dan abadi yaitu:
وَلَقَدْ بَعَثْنَا فِي كُلِّ أُمَّةٍ رَسُولًا أَنِ اعْبُدُوا اللَّهَ وَاجْتَنِبُوا الطَّاغُوتَ
“Dan sesungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan): "Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah Thaghut itu". (QS An-Nahl ayat 36)
Tidak ada seorang Nabi maupun Rasul kecuali mengajak umatnya masing-masing untuk memerdekakan diri dari penghambaan manusia kepada sesama manusia (yaitu Thaghut) untuk hanya menghambakan diri kepada Allah semata. Sembahlah Allah semata dan jauhilah Thaghut...!
Dan sepanjang sejarah bilamana wujud suatu masyarakat jahiliyyah niscaya suburlah kehadiran aneka thaghut di dalam masyarakat tersebut. Sebaliknya bilamana berdiri suatu masyarakat berlandaskan kepercayaan, jalan hidup dan konsepsi aqidah Tauhid La ilaha ill-Allah, maka bersihlah masyarakat itu dari eksistensi thaghut. Seluruh masyarakat menyembah dan mengesakan Allah secara komprehensif, baik dalam aspek ibadah dan kehidupan lainnya. Berjalanlah masyarakat tersebut sarat dengan perlombaan dalam kebaikan menjunjung tinggi nilai-nilai dan hukum Rabbani. Tidak ada yang dipatuhi dan diberikan loyalitas pada prioritas pertama dan utama selain Allah Subhaanahu wa Ta’aala.
عَنْ خَبَّابِ بْنِ الْأَرَتِّ قَالَ شَكَوْنَا إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ مُتَوَسِّدٌ بُرْدَةً لَهُ فِي ظِلِّ الْكَعْبَةِ قُلْنَا لَهُ أَلَا تَسْتَنْصِرُ لَنَا أَلَا تَدْعُو اللَّهَ لَنَا قَالَ كَانَ الرَّجُلُ فِيمَنْ قَبْلَكُمْ يُحْفَرُ لَهُ فِي الْأَرْضِ فَيُجْعَلُ فِيهِ فَيُجَاءُ بِالْمِنْشَارِ فَيُوضَعُ عَلَى رَأْسِهِ فَيُشَقُّ بِاثْنَتَيْنِ وَمَا يَصُدُّهُ ذَلِكَ عَنْ دِينِهِ وَيُمْشَطُ بِأَمْشَاطِ الْحَدِيدِ مَا دُونَ لَحْمِهِ مِنْ عَظْمٍ أَوْ عَصَبٍ وَمَا يَصُدُّهُ ذَلِكَ عَنْ دِينِهِ وَاللَّهِ لَيُتِمَّنَّ هَذَا الْأَمْرَ حَتَّى يَسِيرَ الرَّاكِبُ مِنْ صَنْعَاءَ إِلَى حَضْرَمَوْتَ لَا يَخَافُ إِلَّا اللَّهَ أَوْ الذِّئْبَ عَلَى غَنَمِهِ وَلَكِنَّكُمْ تَسْتَعْجِلُونَ
Dari Khabab bin Al-Arat ia berkata: ”Kami mengeluh di hadapan Rasulullah shollallahu ’alaih wa sallam saat beliau sedang bersandar di Ka’bah. Kami berkata kepadanya: ”Apakah engkau tidak memohonkan pertolongan bagi kami? Tidakkah engkau berdoa kepada Allah untuk kami?” Rasulullah shollallahu ’alaih wa sallam kemudian bersabda: ”Dahulu seorang lelaki ditanam badannya ke dalam bumi lalu gergaji diletakkan di atas kepalanya dan kepalanya dibelah menjadi dua namun hal itu tidak menghalanginya dari agamanya. Dan disisir dengan sisir besi sehingga terkelupaslah daging dan kulitnya sehingga tampaklah tulangnya namun hal itu tidak menghalanginya dari agamanya. Demi Allah, urusan ini akan disempurnakanNya sehingga seorang penunggang kuda akan berkelana dari San’aa ke Hadramaut tidak takut apapun selain Allah atau srigala menerkam dombanya, akan tetapi kalian tergesa-gesa!” (HR Bukhary 3343)
keluhan Khabab telah dibalas dengan jawaban tegas Nabi shollallahu ’alaih wa sallam. Nabi shollallahu ’alaih wa sallam mengingatkan Khabab akan tabiat jalan da’wah yang telah ditempuh orang-orang beriman sepanjang masa. Ini bukanlah jalan melewati taman-taman bunga. Ini bukan jalan bagi mereka yang menyengaja merekayasa jalan da’wah agar menghasilkan berbagai kemudahan dan kesenangan duniawi. Ini bukan jalan bagi mereka yang ingin segera memperoleh kemenangan da’wah dengan meninggalkan seruan asli da’wah Islam yaitu proklamasi umum pembebasan manusia dari penghambaan kepada sesama manusia menjadi penghambaan manusia kepada Allah semata. Ini bukan jalan bagi mereka yang demi kekuasaan rela mengaburkan seruan La Ilaha ill-Allah menjadi seruan selain Islam.
Sekilas, membahas persoalan bagaimana mengenal Allåh bukan sesuatu yang asing. Bahkan mungkin ada yang mengatakan untuk apa hal yang demikian itu dibahas? Bukankah kita semua telah mengetahui dan mengenal pencipta kita? Bukankah kita telah mengakui itu semua?
Kalau mengenal Allåh sebatas di masjid, di majelis dzikir, atau di majelis ilmu atau mengenal-Nya ketika tersandung batu, ketika mendengar kematian, atau ketika mendapatkan musibah dan mendapatkan kesenangan, barangkali akan terlontar pertanyaan demikian.
Yang dimaksud dalam pembahasan ini yaitu mengenal Allåh yang akan membuahkan rasa takut kepada-Nya, tawakal, berharap, menggantungkan diri, dan ketundukan hanya kepada-Nya, sehingga kita bisa mewujudkan segala bentuk ketaatan dan menjauhi segala apa yang dilarang oleh-Nya. Yang akan menenteramkan hati ketika orang-orang mengalami gundah-gulana dalam hidup, mendapatkan rasa aman ketika orang-orang dirundung rasa takut dan akan berani menghadapi segala macam problema hidup.
Faktanya, berapa banyak yang mengaku mengenal Allåh tetapi mereka selalu bermaksiat kepada-Nya siang dan malam?! Lalu apa manfaat kita mengenal Allåh kalau keadaannya demikian? Dan apa artinya kita mengenal Allåh sementara kita melanggar perintah dan larangan-Nya
Mengenal Rububiyah Allåh
Rububiyah Allåh adalah mengesakan Allåh dalam tiga perkara yaitu penciptaan-Nya, kekuasaan-Nya, dan pengaturan-Nya. (Lihat Syarah Aqidah Al Wasithiyyah Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin hal 14)
Maknanya, menyakini bahwa Allåh adalah Dzat yang menciptakan, menghidupkan, mematikan, memberi rizki, mendatangkan segala mamfaat dan menolak segala mudharat. Dzat yang mengawasi, mengatur, penguasa, pemilik hukum dan selainnya dari segala sesuatu yang menunjukkan kekuasaan tunggal bagi Allåh.
Dari sini, seorang mukmin harus meyakini bahwa tidak ada seorangpun yang menandingi Allåh dalam hal ini. Allåh mengatakan: “’Katakanlah!’ Dialah Allåh yang Maha Esa. Allåh adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya sgala sesuatu. Dia tidak beranak dan tidak diperanakkan. Dan tidak ada seorangpun yang setara dengan-Nya.” (QS. Al Ikhlash: 1-4)
Maka ketika seseorang meyakini bahwa selain Allåh ada yang memiliki kemampuan untuk melakukan seperti di atas, berarti orang tersebut telah mendzalimi dirinya, karena telah menyekutukan-Nya dengan selain-Nya (yang menyebabkan dirinya binasa, dosanya tidak terampunkan (jika ia mati dalam keadaan tidak bertaubat), dan ia berada kekal didalam neraka, selama-lamanya, wal iyya ‘udzubillah)
Dalam masalah rububiyah Allåh sebagian orang kafir jahiliyah tidak mengingkarinya sedikitpun dan mereka meyakini bahwa yang mampu melakukan demikian hanyalah Allåh semata. Mereka tidak menyakini bahwa apa yang selama ini mereka sembah dan agungkan mampu melakukan hal yang demikian itu.
Lalu apa tujuan mereka menyembah Tuhan yang banyak itu? Apakah mereka tidak mengetahui jikalau ‘tuhan-tuhan’ mereka itu tidak bisa berbuat apa-apa? Dan apa yang mereka inginkan dari sesembahan itu?
Pertama, Allåh telah menceritakan di dalam Al Qur’an bahwa mereka memiliki dua tujuan. Pertama, mendekatkan diri mereka kepada Allåh dengan sedekat-dekatnya sebagaimana firman Allåh, yang artinya:
“Dan orang-orang yang menjadikan selain Allåh sebagai penolong (mereka mengatakan): ‘Kami tidak menyembah mereka melainkan agar mereka mendekatkan kami di sisi Allåh dengan sedekat-dekatnya’.” (Az Zumar: 3 )
Kedua, agar mereka (sesembahan yang disembah musyrikin tersebut) memberikan syafa’at (pembelaan ) di sisi Allåh.
Allåh berfirman, yang artinya:
“Dan mereka menyembah selain Allåh dari apa-apa yang tidak bisa memberikan mudharat dan manfaat bagi mereka dan mereka berkata: ‘Mereka (sesembahan itu) adalah yang memberi syafa’at kami di sisi Allåh’.” (QS. Yunus: 18, Lihat kitab Kasyfusy Syubuhat karya Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab)
Keyakinan sebagian orang kafir terhadap tauhid rububiyah Allåh telah dijelaskan Allåh dalam beberapa firman-Nya, yang artinya:
“Kalau kamu bertanya kepada mereka siapakah yang menciptakan mereka? Mereka akan menjawab Allåh.” (QS. Az Zukhruf: 87)
“Dan kalau kamu bertanya kepada mereka siapakah yang menciptakan langit dan bumi dan yang menundukkan matahari dan bulan? Mereka akan mengatakan Allåh.” (QS. Al Ankabut: 61)
“Dan kalau kamu bertanya kepada mereka siapakah yang menurunkan air dari langit lalu menghidupkan bumi setelah matinya? Mereka akan menjawab Allåh.” (QS. Al Ankabut: 63)
Demikianlah Allåh menjelaskan tentang keyakinan mereka terhadap tauhid Rububiyah Allåh. Keyakinan mereka yang demikian itu tidak menyebabkan mereka masuk ke dalam Islam dan menyebabkan halalnya darah dan harta mereka sehingga Råsulullåh mengumumkan peperangan melawan mereka.
Makanya, jika kita melihat kenyataan yang terjadi di tengah-tengah kaum muslimin, kita sadari betapa besar kerusakan akidah yang melanda saudara-saudara kita. Banyak yang masih menyakini bahwa selain Allåh, ada yang mampu menolak mudharat dan mendatangkan mamfa’at, meluluskan dalam ujian, memberikan keberhasilan dalam usaha, dan menyembuhkan penyakit. Sehingga, mereka harus berbondong-bondong meminta-minta di kuburan orang-orang shalih, atau kuburan para wali, atau di tempat-tempat keramat.
Mereka harus pula mendatangi para dukun, tukang ramal, dan tukang tenung atau dengan istilah sekarang paranormal. Semua perbuatan dan keyakinan ini, merupakan keyakinan yang rusak dan bentuk kesyirikan kepada Allåh.
Ringkasnya, tidak ada yang bisa memberi rizki, menyembuhkan segala macam penyakit, menolak segala macam marabahaya, memberikan segala macam manfaat, membahagiakan, menyengsarakan, menjadikan seseorang miskin dan kaya, yang menghidupkan, yang mematikan, yang meluluskan seseorang dari segala macam ujian, yang menaikkan dan menurunkan pangkat dan jabatan seseorang, kecuali Allåh. Semuanya ini menuntut kita agar hanya meminta kepada Allåh semata dan tidak kepada selain-Nya.
Mengenal Uluhiyah Allåh
Uluhiyah Allåh adalah mengesakan segala bentuk peribadatan bagi Allåh, seperti berdo’a, meminta, tawakal, takut, berharap, menyembelih, bernadzar, cinta, dan selainnya dari jenis-jenis ibadah yang telah diajarkan Allåh dan Råsulullåh ShallAllåhu ‘Alaihi Wasallam.
Memperuntukkan satu jenis ibadah kepada selain Allåh termasuk perbuatan dzalim yang besar di sisi-Nya yang sering diistilahkan dengan syirik kepada Allåh.
Allåh berfirman di dalam Al Qur’an, yang artinya:
“Hanya kepada-Mu ya Allåh kami menyembah dan hanya kepada-Mu ya Allåh kami meminta.” (QS. Al Fatihah: 5)
Råsulullåh Shallallåhu ‘Alaihi Wasallam telah membimbing Ibnu Abbas radhiAllåhu ‘anhu dengan sabda beliau, yang artinya: “Dan apabila kamu minta maka mintalah kepada Allåh dan apabila kamu minta tolong maka minta tolonglah kepada Allåh.” (HR. Tirmidzi)
Allåh berfirman, yang artinya:
“Dan sembahlah Allåh dan jangan kalian menyekutukan-Nya dengan sesuatu apapun” (QS. An Nisa: 36)
Allåh berfirman, yang artinya:
“Hai sekalian manusia sembahlah Råbb kalian yang telah menciptakan kalian dan orang-orang sebelum kalian, agar kalian menjadi orang-orang yang bertaqwa.” (QS. Al Baqarah: 21)
Dengan ayat-ayat dan hadits di atas, Allåh dan Rasul-Nya telah jelas mengingatkan tentang tidak bolehnya seseorang untuk memberikan peribadatan sedikitpun kepada selain Allåh karena semuanya itu hanyalah milik Allåh semata.
Råsulullåh Shallallåhu ‘Alaihi Wasallam bersabda, yang artinya:
“Allåh berfirman kepada ahli neraka yang paling ringan adzabnya, (yang artinya) ‘Kalau seandainya kamu memiliki dunia dan apa yang ada di dalamnya dan sepertinya lagi, apakah kamu akan menebus dirimu? Dia menjawab ‘ya’. Allåh berfirman (yang artinya): ‘Sungguh Aku telah menginginkan darimu lebih rendah dari ini dan ketika kamu berada di tulang rusuknya Adam tetapi kamu enggan kecuali terus menyekutukan-Ku.” ( HR. Muslim dari Anas bin Malik RadhiAllåhu ‘Anhu )
Råsulullåh Shallallåhu ‘Alaihi Wasallam bersabda: “Allåh berfirman dalam hadits qudsi (yang artinya): “Aku tidak butuh kepada sekutu-sekutu, maka barang siapa yang melakukan satu amalan dan dia menyekutukan Aku dengan selain-Ku maka Aku akan membiarkannya dan sekutunya.” (HR. Muslim dari Abu Hurairah RadhiAllåhu ‘Anhu )
Contoh konkrit penyimpangan uluhiyah Allåh di antaranya ketika seseorang mengalami musibah di mana ia berharap bisa terlepas dari musibah tersebut. Lalu orang tersebut datang ke makam seorang wali, atau kepada seorang dukun, atau ke tempat keramat atau ke tempat lainnya. Ia meminta di tempat itu agar penghuni tempat tersebut atau sang dukun, bisa melepaskannya dari musibah yang menimpanya. Ia begitu berharap dan takut jika tidak terpenuhi keinginannya. Ia pun mempersembahkan sesembelihan bahkan bernadzar, berjanji akan beri’tikaf di tempat tersebut jika terlepas dari musibah seperti keluar dari lilitan hutang.
Ibnul Qoyyim mengatakan: “Kesyirikan adalah penghancur tauhid rububiyah dan pelecehan terhadap tauhid uluhiyyah, dan berburuk sangka terhadap Allåh.”
Ketika Nabi shollallahu ’alaih wa sallam dan para sahabat berda’wah di Mekkah sebelum hijrah ke Madinah, mereka memfokuskan da’wah Islam kepada urusan membangun fondasi kokoh berupa aqidah yang bersumber dari kalimat La ilaha ill-Allah.
Mereka tidak bergesar dari tema fundamental ini karena mereka menyadari bahwa untuk mengubah masyarakat jahiliyyah tidak mungkin dilakukan kecuali dengan membongkar dari fondasinya yang mendasari seluruh kehidupannya kepada jalan mana yang ia tempuh, dalam semua lini kehidupan. Sehingga percuma saja dilakukan upaya perbaikan bila dilakukan dengan semangat dan metode tambal-sulam. Diperlukan suatu langkah perombakan mendasar sebelum dilakukan upaya perbaikan pada dimensi kehidupan yang luas.
Oleh karena itu Nabi shollallahu ’alaih wa sallam dengan tekun dan sabar menyerukan da’wah yang menitikberatkan pada pelurusan kepercayaan, ideologi dan konsepsi. Sebagaimana para Nabi dan Rasul lainnya beliau menyerukan pesan universal dan abadi yaitu:
وَلَقَدْ بَعَثْنَا فِي كُلِّ أُمَّةٍ رَسُولًا أَنِ اعْبُدُوا اللَّهَ وَاجْتَنِبُوا الطَّاغُوتَ
“Dan sesungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan): "Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah Thaghut itu". (QS An-Nahl ayat 36)
Tidak ada seorang Nabi maupun Rasul kecuali mengajak umatnya masing-masing untuk memerdekakan diri dari penghambaan manusia kepada sesama manusia (yaitu Thaghut) untuk hanya menghambakan diri kepada Allah semata. Sembahlah Allah semata dan jauhilah Thaghut...!
Dan sepanjang sejarah bilamana wujud suatu masyarakat jahiliyyah niscaya suburlah kehadiran aneka thaghut di dalam masyarakat tersebut. Sebaliknya bilamana berdiri suatu masyarakat berlandaskan kepercayaan, jalan hidup dan konsepsi aqidah Tauhid La ilaha ill-Allah, maka bersihlah masyarakat itu dari eksistensi thaghut. Seluruh masyarakat menyembah dan mengesakan Allah secara komprehensif, baik dalam aspek ibadah dan kehidupan lainnya. Berjalanlah masyarakat tersebut sarat dengan perlombaan dalam kebaikan menjunjung tinggi nilai-nilai dan hukum Rabbani. Tidak ada yang dipatuhi dan diberikan loyalitas pada prioritas pertama dan utama selain Allah Subhaanahu wa Ta’aala.
عَنْ خَبَّابِ بْنِ الْأَرَتِّ قَالَ شَكَوْنَا إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ مُتَوَسِّدٌ بُرْدَةً لَهُ فِي ظِلِّ الْكَعْبَةِ قُلْنَا لَهُ أَلَا تَسْتَنْصِرُ لَنَا أَلَا تَدْعُو اللَّهَ لَنَا قَالَ كَانَ الرَّجُلُ فِيمَنْ قَبْلَكُمْ يُحْفَرُ لَهُ فِي الْأَرْضِ فَيُجْعَلُ فِيهِ فَيُجَاءُ بِالْمِنْشَارِ فَيُوضَعُ عَلَى رَأْسِهِ فَيُشَقُّ بِاثْنَتَيْنِ وَمَا يَصُدُّهُ ذَلِكَ عَنْ دِينِهِ وَيُمْشَطُ بِأَمْشَاطِ الْحَدِيدِ مَا دُونَ لَحْمِهِ مِنْ عَظْمٍ أَوْ عَصَبٍ وَمَا يَصُدُّهُ ذَلِكَ عَنْ دِينِهِ وَاللَّهِ لَيُتِمَّنَّ هَذَا الْأَمْرَ حَتَّى يَسِيرَ الرَّاكِبُ مِنْ صَنْعَاءَ إِلَى حَضْرَمَوْتَ لَا يَخَافُ إِلَّا اللَّهَ أَوْ الذِّئْبَ عَلَى غَنَمِهِ وَلَكِنَّكُمْ تَسْتَعْجِلُونَ
Dari Khabab bin Al-Arat ia berkata: ”Kami mengeluh di hadapan Rasulullah shollallahu ’alaih wa sallam saat beliau sedang bersandar di Ka’bah. Kami berkata kepadanya: ”Apakah engkau tidak memohonkan pertolongan bagi kami? Tidakkah engkau berdoa kepada Allah untuk kami?” Rasulullah shollallahu ’alaih wa sallam kemudian bersabda: ”Dahulu seorang lelaki ditanam badannya ke dalam bumi lalu gergaji diletakkan di atas kepalanya dan kepalanya dibelah menjadi dua namun hal itu tidak menghalanginya dari agamanya. Dan disisir dengan sisir besi sehingga terkelupaslah daging dan kulitnya sehingga tampaklah tulangnya namun hal itu tidak menghalanginya dari agamanya. Demi Allah, urusan ini akan disempurnakanNya sehingga seorang penunggang kuda akan berkelana dari San’aa ke Hadramaut tidak takut apapun selain Allah atau srigala menerkam dombanya, akan tetapi kalian tergesa-gesa!” (HR Bukhary 3343)
keluhan Khabab telah dibalas dengan jawaban tegas Nabi shollallahu ’alaih wa sallam. Nabi shollallahu ’alaih wa sallam mengingatkan Khabab akan tabiat jalan da’wah yang telah ditempuh orang-orang beriman sepanjang masa. Ini bukanlah jalan melewati taman-taman bunga. Ini bukan jalan bagi mereka yang menyengaja merekayasa jalan da’wah agar menghasilkan berbagai kemudahan dan kesenangan duniawi. Ini bukan jalan bagi mereka yang ingin segera memperoleh kemenangan da’wah dengan meninggalkan seruan asli da’wah Islam yaitu proklamasi umum pembebasan manusia dari penghambaan kepada sesama manusia menjadi penghambaan manusia kepada Allah semata. Ini bukan jalan bagi mereka yang demi kekuasaan rela mengaburkan seruan La Ilaha ill-Allah menjadi seruan selain Islam.
0 comments:
Posting Komentar