Hanya 3 macam dusta yang dibenarkan atau diberikan dispensasi dari hukum berdusta, seperti disebutkan dalam hadits yang diriwayatkan Muslim. Yakni, berdusta dalam perang demi mengelabui musuh; berdusta untuk mendamaikan antara dua orang yang bertikai; dan berdusta yang dilakukan suami atau istri agar tidak terjadi pertengkaran atau perceraian.
Rasulullah bersabda, "Inginkah engkau aku beri tahu tentang kepala (pokok) segala urusan, tiangnya dan puncaknya?" Aku menjawab, "Ya, wahai Rasulullah." Beliau bersabda, "Kepala segala urusan adalah Allah, tiangnya adalah shalat, dan puncaknya adalah jihad." Rasulullah Saw. mengatakan lagi, "Inginkah engkau aku beri tahukan tentang penguat itu semua?" Aku menjawab, "Ya, wahai Nabi Allah." Maka Rasulullah saw. memegang lidahnya seraya mengatakan, "Tahanlah (peliharalah) ini (lidah) olehmu." Aku mengatakan, "Wahai Nabi Allah, akankah kita dibalas gara-gara omongan yang kita ucapkan?" Rasulullah Saw. menjawab, "Ibumu telah kehilangan kamu! Tidaklah manusia dibenamkan ke dalam neraka -dimulai dengan wajah mereka atau lubang hidung mereka-melainkan buah dari lidah-lidah mereka?" (H.R. Tirmidzi, hadits hasan)
***
Kejahatan lainnya yang dilakukan lidah adalah sebagai berikut.
3. Berdusta
Berdusta atau berbohong didefinisikan oleh para ulama dengan, "Mengatakan sesuatu yang tidak sesuai dengan kenyataanya secara sengaja, baik dalam rangka bercanda maupun serius."
Berdusta adalah dosa yang dapat menjangkiti siapa pun. Alasannya, dosa ini dapat dengan mudah dilakukan oleh siapa pun. Untuk berdusta, seseorang tidak memerlukan modal uang, tidak perlu tenaga besar, tidak perlu ilmu yang tinggi. Oleh karena itu, kita harus hati-hati dari perbuatan lidah yang satu ini.
Seorang pejabat bisa berdusta. Dustanya misalnya dengan mengatakan bahwa dirinya sudah melakukan sesuatu padahal dia tidak pernah melakukannya. Akan tetapi, bukanlah termasuk dusta jika dia telah menekadkan untuk melakukan sesuatu -dan tekadnya itu dikemukakan kepada pihak lain. Namun, dalam perjalanan dia mengalami banyak hambatan untuk pelaksanaannya.
Seorang ayah atau ibu bisa berdusta kepada anaknya dengan menjanjikan akan memberikan sesuatu kepada sang anak padahal dia tidak benar-benar berniat memberinya apa pun. Misalnya, sang ayah mengatakan bahwa jika anaknya mau membantunya membereskan tempat tidur, nanti diajak berjalan-jalan ke tempat rekreasi. Padahal, dalam hatinya tidak ada sama sekali niat untuk melakukannya. Dia mengatakan hal itu semata-mata agar anaknya itu bersedia membereskan tempat tidur.
Berhati-hatilah, kawasan yang subur dengan kebohongan adalah kawasan jual beli. Tidak sedikit pedagang yang secara sengaja menyembunyikan cacat dalam dagangannya atau kualitas yang sesungguhnya demi agar pembeli tidak berpaling darinya atau demi keuntungan yang sebersar-besarnya.
Tentu saja berdusta merupakan perbuatan tercela dan mengantarkan pelakunya pada kemurkaan Allah swt. Rasulullah Saw. bersabda, "Hindarilah berdusta karena sesungguhnya berdusta itu menungarahkan kepada dosa-dosa dan dosa-dosa itu mengarahkan ke neraka. Dan, sesungguhnya seseorang berdusta (berulang-ulang) hingga dicatat di sisi Allah sebagai pendusta." (H.R. Ahmad)
Rasulullah Saw. juga mengecam orang yang berkata dusta agar orang yang mendengarkannya tertawa. Beliau bersabda, "Celakalah orang yang berbicara dusta untuk membuat orang lain tertawa. Celakalah dia. Celakalah dia." (H.R. Imam Ahmad dan dinilai hasan oleh At-tirmidzi)
Hal yang lebih busuk lagi adalah berdusta atas nama perjuangan Islam. Misalnya, seseorang yang berdusta kepada orangtuanya bahwa dia membutuhkan uang untuk mengganti barang temannya yang hilang olehnya. Padahal, sebenarnya tidak ada barang yang hilang dan tidak ada yang perlu diganti. Yang terjadi adalah dia harus menyetorkan sejumlah uang kepada pimpinan dalam kelompoknya yang diklaim dalam rangka menegakkan kebenaran. Mengapa sang anak berani berdusta? Sebabnya, doktrin yang dia terima adalah: boleh berdusta kepada siapa pun termasuk orangtuanya -yang dianggap kafir karena tidak masuk dalam kelompoknya-dalam rangka mendapatkan uang karena mereka sedang menegakkan Islam.
Logika melegalkan dosa (seperti berbohong, menipu, dan mencuri) dengan kedok memperjuangkan Islam ditolak mentah-mentah oleh Allah Swt. dengan firman-Nya,
***
Kejahatan lainnya yang dilakukan lidah adalah sebagai berikut.
3. Berdusta
Berdusta atau berbohong didefinisikan oleh para ulama dengan, "Mengatakan sesuatu yang tidak sesuai dengan kenyataanya secara sengaja, baik dalam rangka bercanda maupun serius."
Berdusta adalah dosa yang dapat menjangkiti siapa pun. Alasannya, dosa ini dapat dengan mudah dilakukan oleh siapa pun. Untuk berdusta, seseorang tidak memerlukan modal uang, tidak perlu tenaga besar, tidak perlu ilmu yang tinggi. Oleh karena itu, kita harus hati-hati dari perbuatan lidah yang satu ini.
Seorang pejabat bisa berdusta. Dustanya misalnya dengan mengatakan bahwa dirinya sudah melakukan sesuatu padahal dia tidak pernah melakukannya. Akan tetapi, bukanlah termasuk dusta jika dia telah menekadkan untuk melakukan sesuatu -dan tekadnya itu dikemukakan kepada pihak lain. Namun, dalam perjalanan dia mengalami banyak hambatan untuk pelaksanaannya.
Seorang ayah atau ibu bisa berdusta kepada anaknya dengan menjanjikan akan memberikan sesuatu kepada sang anak padahal dia tidak benar-benar berniat memberinya apa pun. Misalnya, sang ayah mengatakan bahwa jika anaknya mau membantunya membereskan tempat tidur, nanti diajak berjalan-jalan ke tempat rekreasi. Padahal, dalam hatinya tidak ada sama sekali niat untuk melakukannya. Dia mengatakan hal itu semata-mata agar anaknya itu bersedia membereskan tempat tidur.
Berhati-hatilah, kawasan yang subur dengan kebohongan adalah kawasan jual beli. Tidak sedikit pedagang yang secara sengaja menyembunyikan cacat dalam dagangannya atau kualitas yang sesungguhnya demi agar pembeli tidak berpaling darinya atau demi keuntungan yang sebersar-besarnya.
Tentu saja berdusta merupakan perbuatan tercela dan mengantarkan pelakunya pada kemurkaan Allah swt. Rasulullah Saw. bersabda, "Hindarilah berdusta karena sesungguhnya berdusta itu menungarahkan kepada dosa-dosa dan dosa-dosa itu mengarahkan ke neraka. Dan, sesungguhnya seseorang berdusta (berulang-ulang) hingga dicatat di sisi Allah sebagai pendusta." (H.R. Ahmad)
Rasulullah Saw. juga mengecam orang yang berkata dusta agar orang yang mendengarkannya tertawa. Beliau bersabda, "Celakalah orang yang berbicara dusta untuk membuat orang lain tertawa. Celakalah dia. Celakalah dia." (H.R. Imam Ahmad dan dinilai hasan oleh At-tirmidzi)
Hal yang lebih busuk lagi adalah berdusta atas nama perjuangan Islam. Misalnya, seseorang yang berdusta kepada orangtuanya bahwa dia membutuhkan uang untuk mengganti barang temannya yang hilang olehnya. Padahal, sebenarnya tidak ada barang yang hilang dan tidak ada yang perlu diganti. Yang terjadi adalah dia harus menyetorkan sejumlah uang kepada pimpinan dalam kelompoknya yang diklaim dalam rangka menegakkan kebenaran. Mengapa sang anak berani berdusta? Sebabnya, doktrin yang dia terima adalah: boleh berdusta kepada siapa pun termasuk orangtuanya -yang dianggap kafir karena tidak masuk dalam kelompoknya-dalam rangka mendapatkan uang karena mereka sedang menegakkan Islam.
Logika melegalkan dosa (seperti berbohong, menipu, dan mencuri) dengan kedok memperjuangkan Islam ditolak mentah-mentah oleh Allah Swt. dengan firman-Nya,
"Katakanlah, 'Sesungguhnya Allah tidak pernah menyuruh berbuat keji. Mengapa kamu membicarakan tentang Allah apa yang tidak kamu ketahui?'" (Q.S. Al-A'raf [7]: 28)
Hanya tiga macam dusta yang dibenarkan atau diberikan dispensasi dari hukum berdusta, seperti disebutkan dalam hadits yang diriwayatkan Muslim. Yakni, berdusta dalam perang demi mengelabui musuh; berdusta untuk mendamaikan antara dua orang yang bertikai; dan berdusta yang dilakukan suami atau istri agar tidak terjadi pertengkaran atau perceraian.
4. Menghasut
Hal busuk lainnya yang dilakukan lidah dan dapat mengantarkan pelakunya ke dalam neraka adalah hasutan. Dalam bahasa Arab, hasutan disebut namimah. Para ulama menjelaskan, namimah adalah menyampaikan atau menyebarkan pembicaraan-yang boleh jadi benar- dalam rangka memunculkan kebencian dan permusuhan. Tentu saja karena tujuannya untuk memunculkan kebencian dan permusuhan, namimah, meskipun subtansinya riil atau benar, namun disertai dengan polesan atau rekayasa. Misalnya, ada seorang tetangga kita bernama si A yang membeli mobil baru. Tiba-tiba si B mengatakan kepada kita, "Si A sekarang punya mobil baru, lho. Dari mana coba uangnya?
Nah, kalimat terakhir "Dari mana coba uangnya" adalah polesan dan rekayasa dalam rangka menanamkan kecurigaan kepada si A sehingga kelak berbuah menjadi kebencian dan sikap memusuhinya. Itu adalah contoh dalam kasus yang "sederhana".
Dalam kasus yang lebih serius, namimah dapat pula terjadi di kancah dakwah. Kelompok atau pihak yang merasa langkah-langkah dakwahnya terkalahkan atau popularitas dirinya terlampaui oleh pihak atau kelompok lain kemudian memunculkan hasutan. Untuk memperkuat namimah itu, biasanya jurus fitnah pun dijadikan sebagai pelengkap.
Rasulullah Saw. bersabda, "Bahkan, seorang penghasut sejak di alam kubur akan mendapat siksa. Suatu hari Rasulullah Saw. melewati dua pekuburan. Saat itu, beliau mengatakan, 'Sesungguhnya kedua orang ini sedang disiksa. Mereka disiksa bukan karena hal besar. Yang satu penghasut dan yang satu lagi tidak suka bersuci setelah buang air kecil.'" (H.R. Bukhari Muslim)
Lihatlah hikmah dan cinta Allah kepada manusia. Allah mengharamkan namimah meskipun isinya riil karena dimaksudkan untuk merusak hati dan memunculkan permusuhan. Dan, mengampuni beberapa bentuk bohong jika dimaksudkan untuk menghadirkan cinta dan mendamaikan.
Lihatlah hikmah dan cinta Allah kepada manusia. Allah mengharamkan namimah meskipun isinya riil karena dimaksudkan untuk merusak hati dan memunculkan permusuhan. Dan, mengampuni beberapa bentuk bohong jika dimaksudkan untuk menghadirkan cinta dan mendamaikan.
Semoga sangat bermanfaat khusus nya buat saya umumnya untuk pembaca MASTER PIN Semuanya amin.... Jangan lupa komentar anda, trimakasih...
Sumber:http://www.percikaniman.org/category/tate-qomaruddin-lc/lidah-surga-atau-neraka-4
0 comments:
Posting Komentar