Allah s.w.t. berfirman dal Qs. Al Ahzab ayat 35, “Sesungguhnya laki-laki dan perempuan yang muslim, laki-laki dan perempuan yang mukmin, laki-laki dan perempuan yang tetap dalam ketaatannya, laki-laki dan perempuan yang benar, laki-laki dan perempuan yang sabar, laki-laki dan perempuan yang khusyuk, laki-laki dan perempuan yang bersedekah, laki-laki dan perempuan yang berpuasa, laki-laki dan perempuan yang memelihara kehormatannya, laki-laki dan perempuan yang banyak menyebut (nama) Allah, Allah telah menyediakan untuk mereka ampunan dan pahala yang besar.” (Qs. Al Ahzab: 35)
Wanita merupakan makhluk yang memiliki berbagai “kemudahan” yang tidak dimiliki oleh kaum lelaki. Wanita lebih mudah dan lebih berpotensi menjadi ahli surga, demikian pula wanita lebih mudah dan lebih berpotensi menjadi ahli neraka. Hal ini sebagaimana yang diungkapkan oleh Rasulullah s.a.w. bahwa mayoritas penghuni surga adalah wanita, dan di kesempatan lain beliau menyatakan bahwa mayoritas penghuni neraka adalah wanita.
Kata kunci status itu terletak pada keiffahan diri wanita dengan berbagai perspektif. Sabda pertama merupakan bentuk kabar gembira bagi wanita yang mampu menjaga keiffahan dirinya, dan sabda kedua merupakan peringatan bahwa wanita lebih berpotensi menjadi penghuni neraka jika tidak menjaga keiffahan dirinya.
Dalam ayat di atas terdapat 10 (sepuluh) karakter ideal wanita muslimah dalam upaya menyelamatkan diri dari kelompok mayoritas di neraka. Dalam ayat ini, karakter-karakter wanita disandingkan dengan laki-laki. Hal ini memiliki tujuan:
1. Penyebutan wanita disandingkan dengan laki-laki menunjukkan bahwa wanita memiliki potensi yang sama dalam pencapaian keimanan dan ketaqwaan, memiliki potensi spiritual dan tingkatan aplikasi keagamaan yang sama dengan laki-laki. Hanya saja, wanita memiliki sembilan kali lipat dari hawa nafsu laki-laki yang menyebabkan wanita didominasi oleh hawa nafsu sehingga menutup potensi spiritualnya.
Banyak sekali tokoh-tokoh wanita yang memiliki kualitas ibadah yang sama bahkan mengungguli kaum lelaki.
2. Pada umumnya, wanita memiliki tingkat pelaksanaan ibadah yang lebih rendah dibanding kaum laki-laki. Oleh karena itu, suami yang baik diwajibkan mengajak dan membimbing istrinya untuk melaksanakan ibadah yang ia lakukan.
3. Adanya tuntutan kafa`ah (kesamaan kualitas) antara suami dan istri dalam masalah ibadah. Oleh karena itu, keteladanan ibadah dari pihak suami menjadi unsur urgent dalam memunculkan kafa`ah.
4. Kewajiban membentuk iklim rumah tangga dengan nuansa nilai-nilai ketuhanan dan moralitas melalui sikap saling memberikan berwasiat dalam kebaikan, saling membantu (tawa’un) dalam pelaksanaan ibadah dan saling mengingatkan. Iklim inilah yang akan mendatangkan ampunan dan limpahan rahmat dari Allah s.w.t. sebagaimana disebutkan di ujung ayat, “Allah telah menyediakan untuk mereka ampunan dan pahala yang besar.”
Adapun kriteria wanita idaman Allah dan Rasul-Nya secara jelas sebagai berikut:
Pertama: Al Muslimaat (Wanita Yang Patuh dan Tunduk Kepada Allah).
Allah s.w.t. menempatkan kriteria pertama wanita yang diidamkan oleh-Nya dan Rasul-Nya adalah muslimah yaitu wanita yang memiliki kepatuhan diri secara utuh kepada Allah s.w.t., dan berupaya keras (mujahadah) dalam mempertahankan keIslamannya.
Keislaman merupakan gerbang pertama memasuki zona Allah sebelum ia memaksimalkan potensi spiritualnya dalam meningkatkan derajat keimanan dan ketaqwaan. Sebagaimana sabda Rasulullah s.a.w., “Islam adalah bahwa kamu bersaksi bahwasanya tiada tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah, kamu mendirikan shalat, menunaikan zakat, melaksanan haji ke bait haram dan berpuasa di bulan Ramadhan.”
Kedua : Al Mu`minaat (Wanita Yang Beriman).
Keimanan merupakan barometer kualitas keIslaman melalui pelaksanaan ibadah individual dan ibadah social dalam kehidupan nyata. Iman adalah wadah, dan amal adalah isinya, sehingga seseorang akan diberikan predikat Islam, Iman, fasiq, dan munafik sesuai kepada isi wadah keimanan.
Kalau kita ibaratkan iman dengan piring maka amal adalah isinya, dan piring akan disebut sesuai dengan isinya, jika piring itu diisi nasi maka disebut sepiring nasi, jika diisi dengan ubi maka disebut sepiring ubi, jika diisi dengan kacang maka disebut sepiring kacang, apapun bahan dasar piring tersebut dari kaca, keramik, atau Kristal maka ia tetap disebut sesuai dengan isinya.
Oleh karena itu, seorang wanita yang menjadi idaman Allah s.w.t. senantiasa mengutamakan isi daripada penampilan luar, ia selalu disibukkan melakukan amal kebaikan daripada mendandani diri dengan make up.
Di masa permulaan Islam, terdapat sosok wanita muslimah yang selalu mendakwahkan laki-laki kafir yang hendak menikahinya untuk beriman terlebih dahulu, yaitu Ummu Sulaim bin Milhan bin Khalid bin Zaid bin Haram r.a. Imannya tidaklah sekedar kata-kata yang terucap dan Islamnya tidak seperti orang-orang Islam lainnya, tetapi ia memahami arti keIslamannya berupa aqidah yang dipahami, diamalkan, dan bertopang pada asas Islam, sifat tanggungjawab dan amanah ditunaikan kepada orang lain.
Suatu hari ia menghampiri suaminya dengan penuh rasa cinta, rasa kasih dan keharmonisan untuk mengajaknya untuk masuk Islam tetapi suaminya menolak, seraya bertanya, “apakah itu Shabut? Ummu Sulaim menjawab: “Apa itu Shabut, tetapi aku telah beriman kepada laki-laki itu (Nabi Muhammad s.a.w.). Ia terus berupaya agar suaminya tunduk kepada agama Allah dan melepaskan diri dari kesesatan Jahiliyyah, namun selalu menolak, dan ia harus tetap bersabar.
Kemudian Ummu Sulaim menghampiri putranya yang bernama Anas, lalu ia memulai menuntunnya mengucapkan syahadat, ia berkata: Ucapkanlah: Aku bersaksi bahwasanya tiada tuhan selain Allah dan aku bersaksi bahwasanya Muhammad adalah utusan Allah. Lalu putranya mengucapkan syahadat itu. Ketika suaminya mengetahui kejadian ini, seraya berkata: “Janganlah kamu merusak putraku”. Ummu Sulaim menjawab: “Aku tidak merusaknya, tetapi itu adalah salah satu tanggungjawab ibu di rumah.”
Akhirnya Ummu Sulaim terus hidup bersama suaminya hingga akhirnya mati terbunuh dalam perjalanan menuju Syam.
Setelah kematian suaminya, Abu Thalhah datang untuk meminang Ummu Sulaim, namun ia menolak pinangan itu. Kemudian Abu Thalhah yang masih kafir datang untuk kedua kalinya. Namun Ummu Sulaim tetap menolak pinangan itu. Akhirnya Thalhah pun penasaran ingin mengetahui alasannya, Ummu Sulaim berkata: Wahai Abu Thalhah, apa pendapatmu tentang batu yang kamu sembah, atau kayu yang diukir oleh tukang kayu untukmu, apakah ia bisa mencelakakanmu atau memberimu manfaat?”. Sungguh perkataan Ummu Sulaim merasuk ke dalam hatinya, dan ia berpikir panjang. Lalu Ummu Sulaim melanjutkan perkataannya: “Oleh karena itu, aku tidak mesti menikah dengan laki-laki musyrik, tidakkah kamu sadari wahai Abu Thalhah bahwa tuhan-tuhanmu yang kamu sembah itu dipahat oleh budak dari keluar tukang kayu, dan jika kamu menyalakan api pastilah akan terbakar.”
Hari terus berlalu dan Abu Thalhah terus merenungi ucapan Ummu Sulaim itu. Lalu ia mendatangi Ummu Sulaim untuk ketiga kalinya, dan Ummu Sulaim membalas dengan ucapan yang sama, lalu ia menemui Ummu Sulaim yang keempat kalinya, Ummu Sulaim berkata: Tidakkah kamu sadari wahai Abu Thalhah, bahwa tuhan yang kamu sembah hanyalah pohon yang tumbuh di bumi, lalu dipahat oleh budak bani fulan? Thalhah menjawab: Benar!.
Ummu Sulaim berkata: Tidakkah kamu malu bersujud kepada sebatang kayu yang tumbuh di bumi lalu dipahat oleh budak dari bani fulan? Apakah kamu ingin bersaksi bahwasanya tiada tuhan selain Allah dan bahwasanya Muhammad adalah utusan Allah, niscaya aku akan menikah denganmu tanpa mahar selain itu?!!
Abu Thalhah berkata: Berikan aku waktu untuk berpikir.
Kemudian Abu Thalhah pergi memikirkan tawaran Ummu Sulaim sampai ia menyakini keimanan itu, dan terbuka hatinya menerima petunjuk, lalu ia datang kembali dan berkata: “Aku bersaksi bahwasanya tiada tuhan selain Allah dan bahwasanya Muhammad adalah utusan Allah”.
Ummu Sulaim berkata kepada putranya: “Wahai Anas, bangunlah dan nikahilah Abu Thalhah”.
Demikianlah sebuah pernikahan terjadi dengan mahar yang lebih mulia dari mahar seorang wanita muslimah yaitu Keislaman Abu Thalhah. Inilah gambaran hakekat keimanan, dan ini sebuah kesadaran yang benar bagi seorang muslimah.
Inilah potret wanita muslimah pendakwah yang konsisten di jalur dakwah, bertekad kuat dengan aqidahnya dan ia tidak menerima pengganti aqidahnya hingga ia sampai kepada puncak sebagaimana yang dikatakan oleh Nabi s.a.w., “Sungguh jika Allah memberikan petunjuk kepada seseorang karena sebabmu adalah lebih baik bagimu daripada dunia beserta isinya.” (HR. Bukhari)
Ketiga: Al Qaanitaat (Wanita Ahli Ibadah).
Kata ‘qaanitat’ berasal dari kata ‘qanata yaqnutu qunuutan’ yang artinya taat. Sedangkan menurut imam Qusyairi dalam tafsirnya berpendapat bahwa kata ‘qunuut’ Artinya ‘thuulul ‘ibadah’ (lama beribadah). Sedangkan menurut imam Fakhrurrozi dalam tafsirnya mengatakan bahwa kata ‘qunuut’ artinya perpaduan antara keislaman dan keimanan yang menghasilkan rasa taat dan patuh kepada Allah dan Rasul-Nya.
Dari definisi ini, seorang wanita dituntut konsistensi dalam melaksanakan ibadah baik ibadah wajib ataupun ibadah sunnah, karena Allah s.w.t. memberikan perintah secara tegas dan khusus kepada kaum wanita untuk taat kepada Allah s.w.t. dan Rasul-Nya, sebagaimana dalam firman-Nya,
“Dan barang siapa diantara kamu sekalian (isteri-isteri Nabi) tetap taat kepada Allah dan rasul-Nya dan mengerjakan amal yang saleh, niscaya kami memberikan kepadanya pahala dua kali lipat dan kami sediakan baginya rezki yang mulia.” (Qs. Al Ahzab: 31).
Meskipun perintah ini bersifat khusus kepada istri-istri Nabi s.a.w., tetapi substansi perintah bersifat umum untuk semua kaum wanita sebagaimana menurut kaidah ushul fiqih:
العبرة ليست بخصوص السبب بل بعموم اللفظ
“Substansi sebuah perintah tidak berdasarkan kekhususan sebab tetapi keumuman lafazh.”
Keempat: Ash-Shadiqaat (Wanita Yang Jujur).
Yaitu wanita yang membiasakan kejujuran lisan, kejujuran hati, kejujuran tindakan dan kejujuran sikap sesuai dengan tuntunan Allah dan Rasul-Nya. Refleksi jujur harus disertai dengan sikap pembenaran terhadap perkataan yang dilontarkan atau perbuatan yang dilakukan, karena perkataan yang tidak disertai pembenaran adalah kebohongan, dan perbuatan yang tidak disertai pembenaran adalah kekufuran. Hal ini sebagaimana firman Allah s.w.t., “Maka siapakah yang lebih zalim daripada orang yang membuat-buat dusta terhadap Allah dan mendustakan kebenaran ketika datang kepadanya? bukankah di neraka Jahannam tersedia tempat tinggal bagi orang-orang yang kafir?. Dan orang yang membawa kebenaran (Muhammad) dan membenarkannya, mereka Itulah orang-orang yang bertakwa.” (Qs. Az Zumar: 32-33)
Oleh karena itu, wanita idaman Allah s.w.t. berupaya keras untuk tidak berkata dusta, berghibah, mencaci, memfitnah dan lainnya karena sebuah itu adalah bentuk perkataan yang pasti tidak disertai pembenaran dari lubuk hati.
Kelima: Ash-Shaabiraat (Wanita Yang Sabar Dan Pejuang).
Kesabaran terbagi menjadi 3 (tiga) hal: pertama, Kesabaran dalam menjalankan perintah Allah yaitu sabar dengan tidak mengungkit-ungkit kebaikan yang dilakukan dan ketika mendapatkan rintangan, ujian, dan cobaan dalam menjalankan ajaran. Kedua, kesabaran dalam meninggalkan larangan Allah s.w.t. yaitu menahan diri berbuat dosa dan kejahatan meskipun sesuai dengan keinginan hawa nafsu tetapi bertentangan dengan keinginan Allah s.w.t. Ketiga, sabar dalam menghadapi ujian dan cobaan kehidupan. Namun inti dari kesabaran yaitu upaya mempertahankan keimanan agar tidak melemah akibat dosa dan tidak hilang akibat ujian.
Keenam: Al Khasyi’aat (Wanita Yang Khusyu’).
Khusyu’ menurut bahasa berarti diam dan tenang. Menurut Prof. Dr. Quraish Shihab bahwa khusyu’ adalah kondisi khusus yang terdapat dalam benak seseorang terhadap obyek khusyu’nya, sehingga yang bersangkutan mengarah sepenuh hati kepadanya sambil mengabaikan yang lain. Dalam ibadah shalat, khusyu’ adalah kondisi jiwa yang diliputi raya takut jangan sampai shalatnya tertolak. Dalam membaca Al Qur’an adalah keasyikan jiwa yang disertai penjiwaan terhadap kandungan ayat, sehingga ia terlelap dalam lantunan qira`ah dan tadabbur Al Qur’an serta merasakan desiran ombak yang menghujam ke jiwanya.
Allah s.w.t. memerintahkan kepada para pembaca untuk menyempurnakan bacaannya dengan tadabbur karena dapat membuat hati yang terkunci, Allah s.w.t. berfirman, “Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al Quran ataukah hati mereka terkunci?”. (Qs. Muhammad: 24).
Abu Sayyar berkata: Amir bin Malik Al Bahrani berkata, Di suatu malam aku menginap di rumah Munifah binti Abu Thariq. Aku melihatnya selalu mengulang-ulang ayat ini dari awal hingga akhir malam, yaitu firman Allah s.w.t.,
“Bagaimanakah kamu (sampai) menjadi kafir, padahal ayat-ayat Allah dibacakan kepada kamu, dan rasul-Nya pun berada di tengah-tengah kamu? barangsiapa yang berpegang teguh kepada (agama) Allah, Maka Sesungguhnya ia Telah diberi petunjuk kepada jalan yang lurus.” (Qs. Ali Imran: 101).
Ketujuh: Ash-Mutashaddiqaat (Wanita Yang Gemar Bershadaqah).
Bershadaqah merupakan salah satu perhiasan rumah tangga yang dilestarikan dalam rumah tangga muslim, karena shadaqah akan menarik cinta Allah, cinta para malaikat dan cinta manusia. Rumah yang dihiasi shadaqah senantiasa dipenuhi dengan naungan perlindungan Allah, keberkahan dari-Nya, dan menambah keharmonisan rumah tangga.
Terdapat ribuan fadhilah shadaqah baik yang bersifat materil secara langsung ataupun non materil, oleh karena itu, anggota rumah tangga khususnya istri harus menjadikan bershadaqah sebagai “hobi”.
Dalam rangka memacu hobi ini, Rasulullah s.a.w memberikan keleluasaan kepada istri untuk bershadaqah dengan memberikan makanan kepada kerabat atau orang yang membutuhkan, beliau bersbada, “Apabila seorang wanita berinfaq dari makanan yang berada di rumahnya, dengan tidak menghabiskannya, maka ia akan mendapatkan pahala atas apa yang diinfaqkan itu dan suaminya pun juga mendapatkan pahala atas usahanya mencari rezeki itu. Begitu pula dengan pegawainya yang memasak juga mendapatkan pahala yang sama, di mana masing-masing tidak mengurangi pahala yang lain.” (HR. Bukhari)
Dalam hal ini, terdapat 2 (dua) wanita yang patut diteladani oleh para istri orang mukmin dalam bershadaqah, yaitu Aisyah r.a. dan Zainab binti Jahsin r.a.:
1. Aisyah r.a.
Abdullah bin Zubair, ia berkata, “Aku tidak pernah melihat wanita yang lebih dermawan dari Aisyah dan Asma’, dan kedermawanan keduanya berbeda.” Adapun Aisyah lebih mengumpulkan sesuatu dan jika telah terkumpul maka ia membagikannya, sedangkan Asma tidak pernah menahan sesuatu pun sampai esok hari.
2. Zainab binti Jahsyin (Istri Rasulullah)
Aisyah pernah bercerita ketika seluruh istri Rasulullah s.a.w sedang berkumpul, beliau bersabda, “Di antara kalian yang lebih dahulu bertemu denganku di hari kiamat kelak adalah yang paling panjang tangannya.” Lalu para isteri beliau saling mengukur tangan siapakah yang paling panjang, setelah diukur ternyata tangan Zainablah yang paling panjang di antara kami kami karena ia sering beramal dan bersedekah dengan tangannya. (HR. Muslim 7/144)
Kedelapan : Ash-Shaa`imaat (Wanita Yang Gemar Berpuasa).
Menurut Imam Baidhawi dalam tafsirnya bahwa yang dimaksud dengan puasa disini adalah puasa wajib yaitu puasa di bulan Ramadhan. Alasannya, karena pelaksaan puasa sunnah bagi wanita yang sudah menikah amat bergantung kepada idzin suami sehingga konteks kata ash-shaa`imaat disini adalah puasa wajib. Sedangkan menurut imam Fakhururrazi dalam tafsirnya mengatakan bahwa kata ash-shaa`imaat merupakan isyarat bagi orang-orang yang syahwat perutnya tidak menghalangi mereka dari beribadah kepada Allah. Penekanan pada puasa wajib karena kaum wanita seringkali mengabaikan qadha puasanya hingga menunda sampai bulan Sya’ban padahal ia bisa melaksanakan qadha puasa dengan segera, karena tuntutan dalam pelaksanaan ibadah adalah segera.
Selain itu pula, wanita dibolehkan melaksanakan puasa sunnah selama tidak mengganggu hak-hak suaminya, karena ibadah sunnah tidak dapat menggugurkan ibadah wajib atau ibadah sunnah boleh dibatalkan jika menghalangi ibadah wajib. Sebagaimana yang dilakukan oleh Aisyah r.a. yang seringkali melakukan ibadah baik ketika Nabi s.a.w. masih hidup ataupun sudah wafat, sebagaimana penuturan Al Qasim, ia berkata: Adapun Aisyah berpuasa sepanjang hari. Sebagaimana hadits dari Abu Hurairah r.a., bahwa Rasulullah s.a.w. bersabda, “Jika seorang wanita shalat lima waktu, berpuasa di bulan Ramadhan, menjaga kemaluannya, dan mentaati suaminya niscaya ia akan masuk surga dari pintu-pintu yang ia inginkan.” (HR. Ibnu Hibban dan Thabrani)
Kesembilan: Al Hafizhaat (Wanita Yang Menjaga Kehormatan).
Kemampuan menjaga kehormatan diri dari perbuatan haram merupakan karunia besar dan nikmat dari Dzat Yang Maha Mulia. Ketahuilah, bahwa kemuliaan seorang wanita diukur dari sejauh mana ia menjaga kehormatan dirinya melalui cara berbusana, cara bertutur kata, cara berjalan dan lain sebagainya. Oleh karena itu, Allah s.w.t. dan Rasul-Nya memberikan perintah khusus yang tidak dibebankan kaum laki-laki demi menjaga kemuliaan dan kehormatan wanita yaitu memakai jilbab, tidak keluar kecuali dengan mahramnya, tidak melembutkan ucapan kepada orang fasiq, dan tidak menghias diri seperti kaum jahiliyyah. Sebagaimana firman Allah s.w.t.,
“Hai nabi, Katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin: “Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka”. yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, Karena itu mereka tidak di ganggu. dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Qs. Al Ahzaab: 59)
Makna Jilbab dalam ayat ini ialah sejenis baju kurung yang lapang yang dapat menutup kepala, muka dan dada.
Dalam ayat lain Allah s.w.t. memerintahkan wanita untuk tidak melembutkan perkataan agar tidak menimbulkan daya tarik orang-orang yang dalam hatinya terdapat penyakit,
“Hai isteri-isteri nabi, kamu sekalian tidaklah seperti wanita yang lain, jika kamu bertakwa. Maka janganlah kamu tunduk dalam berbicara sehingga berkeinginanlah orang yang ada penyakit dalam hatinya dan ucapkanlah perkataan yang baik.” (Qs. Al Ahzaab: 32)
Yang dimaksud dengan tunduk di sini ialah berbicara dengan sikap yang menimbulkan keberanian orang bertindak yang tidak baik terhadap mereka.
Meskipun secara tersurat ayat ini ditujukan secara langsung kepada istri-istri Nabi s.a.w. namun secara tersirat substansi perintah berlaku untuk semua wanita muslimah.
Kesepuluh: Adz-Dzaakiraat (Wanita Yang Banyak Berdzikir).
Dzikir termasuk ibadah yang termudah karena tidak mengorbankan tenaga, waktu atau harta. Seorang muslim dapat berdzikir tiap waktu dan tiap tempat, bahkan wanita haidh dan nifaspun bisa melakukannya. Berdzikir adalah ibadah yang amat dicintai oleh Allah s.w.t. dan memberikan ganjaran berlipat ganda, Dia memberikan ganjaran yang tidak diberikan pada ibadah selainnya.
Dzikir adalah ibadah tiap waktu dan tiap tempat, bahkan tatkala seseorang mengadukan problem maksiat dan tidak mampu untuk istiqamah, maka jawabannya: “ingatlah Allah”.
Dalam membina rumah tangga, suami dan istri harus memiliki kesamaan visi dalam membangun rumah tangga idaman yaitu saling menolong dalam berdzikir. Rasulullah s.a.w. memberikan kriteria ringan agar suami dan istri tergolong orang yang banyak berdzikir, beliau bersabda, “Jika seorang laki-laki membangunkan istrinya di malam hari untuk shalat malam, kemudian kedua melaksanakan shalat niscaya keduanya tercatat sebagai laki-laki dan perempuan yang gemar berdzikir.”
Dzikir dalam rumah tangga adalah bahan bangunan yang akan mengokohkan bangunan rumah tangga penuh dengan nuansa sakinah, mawaddah dan rahmah, jika bahan bangunan tersebut terkikis akibat berhentinya dzikir maka sirnalah keharmonisan rumah tangga.
Hakim bin Muhammad berkata: Aku telah mendengar bahwasanya rumah-rumah di surga dibangun dengan (bahan) dzikir, jika mereka berhenti berdzikir, maka para malaikat berhenti membangun. Lalu malaikat ditanya dengan sebab berhenti membangun, mereka menjawab, “Hingga datang bahan-bahan kepada kami.”
Untuk itu, meskipun seorang isteri memiliki kesibukan yang luar biasa dalam mengurusi rumah tangga, namun janganlah melupakan diri untuk tidak berdzikir setiap hari, luangkanlah waktu untuk berkomunikasi dengan Allah s.w.t. karena Dia memerintahkan kepada isteri-isteri Rasulullah s.a.w. untuk menghiasi rumah dengan membaca Al Qur’an dan membaca hadits Rasulullah s.a.w, “Dan ingatlah apa yang dibacakan di rumahmu dari ayat-ayat Allah dan hikmah (sunnah Nabimu). Sungguh, Allah Maha Lembut, Maha Mengetahui.” (Qs. Al Ahzab: 34)
Itulah 10 (sepuluh) kriteria yang menuntun kaum wanita dan para isteri untuk menjadi idaman Allah s.w.t. dan Rasul-Nya dengan menanamkan semua kriteria tersebut dalam wadah keimanan. Semua itu adalah perhiasan sesungguhnya bagi kaum wanita, perhiasan yang menjanjikan kecantikan lahir dan bathin dan kelak akan ditukarkan dengan perhiasan yang disiapkan Allah s.w.t. di surga. Siapa yang tidak menggunakan perhiasan ini di dunia, kelak ia tidak akan mengenakan perhiasan di surga kelak. Jadilah wanita idaman Allah s.w.t dan Rasul-Nya. Allahumma Ihdinash shiraathal mustaqiim
Sumber :http://agama.kompasiana.com/2010/09/04/kriteria-wanita-idaman-menurut-islam/
0 comments:
Posting Komentar